Selasa, 01 Juni 2010

Manusia dan Kegelisahan : Kesepian

Tentang Soe Hok Gie dan film Gie
Menonton film Gie adalah menonton potret manusia kesepian. Gie, atau Soe, adalah panggilan Soe Hok Gie, seorang aktivis dan mahasiswa idealis tahun 60an yang banyak menulis, menyuarakan ketidakadilan dan mengkritik pemerintah. Ia juga mahasiswa pecinta alam yang merasa perlu mereguk kekuatan di gunung ketika susah dan bahkan mati muda di puncak Gunung Semeru, yang sekarang masih menyimpan tugu kenangan dengan namanya.
Catatan harian Gie diterbitkan menjadi buku Catatan Seorang Demonstran oleh LP3ES dan menjadi buku ‘wajib baca’ bagi aktivis mahasiswa. Buku ini kemudian menjadi dasar film Gie. Dalam buku itu terekam betul jiwa Soe Hok Gie yang gelisah dan penuh pemberontakan bahkan sejak masih sangat muda, yang membuatnya jadi kelihatan berbeda dari teman-teman sebayanya. Buku milikku yang sudah tua, kertasnya menguning dan gampang sobek inilah yang kuambil dari rak dan kubaca kembali setelah menonton film Gie.
Gie, lahir tahun 1942 di sebuah keluarga Tionghoa, dari ayah yang seorang sastrawan. Ayah yang digambarkan apatis dalam film itu sebetulnya adalah seorang sastrawan besar pada jamannya. Gie adalah adik Soe Hok Djien alias Arief Budiman, seorang intelektual Indonesia yang vokal. Sejak mudanya Gie memang sudah kelihatan berbeda dari anak-anak lain, dia punya jiwa yang berani menyuarakan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran, bahkan kalau itu harus membuatnya bergesekan dengan ‘kekuasaan’, yang dalam hal seorang anak SMP adalah guru-guru dan pejabat sekolah. Selain protesnya terhadap guru yang tidak mau disalahkan, catatan hariannya semasa SMP masih mencatat hal-hal sehari-hari yang dialami seorang anak SMP. Perubahan besar terasa setelah dia belajar di tingkat berikut di SMA Kanisius – bacaannya makin serius, pemikirannya makin tajam dan protesnya makin lantang. Patut dikagumi keberaniannya menyuarakan kritik pada pemerintah di umurnya yang baru 17an tahun – ingat, ini adalah jaman yang belum begitu terbuka. Tapi jadi terasa betapa makin berbedanya si kutu buku Gie dengan anak seusianya.

Semasa kuliah di Fakultas Sastra UI kemampuannya makin di asah. Ia makin lantang dan makin tajam. Mungkin pendapat-pendapatnya bukan tanpa kesalahan, tapi semangatnya yang luar biasa dan kepekaannya pada kemiskinan serta pembelaannya pada rakyat membuat protesnya bergema. Di tengah kisruhnya suasana politik saat itu, ia juga ikut turun ke jalan, karena menurutnya lebih baik mahasiswa turun sebelum rakyat akhirnya tak tahan dan memberontak menghasilkan chaos.

Gambaran masa kuliah Gie di dalam film mengingatkanku pada masa-masa di kampus dulu. Di tahun 90an di UGM politik aliran seperti yang terlahir di jaman Gie masih ada. Mahasiswa terpecah-pecah, terutama saat-saat pemilihan anggota Himpunan Mahasiswa dan Senat. Kampus jadi terkota-kotak dalam warna-warni merah, hijau, putih dan entah warna lain. Gie jadi teladan yang baik karena bisa berdiri di tengah, tidak kanan maupun kiri.

Pada jamanku kuliah dulu mahasiswa yang tidak terjun ke ‘politik kampus’ sering dicibir. Mereka-mereka yang ‘hanya’ giat di bidang kesenian atau olahraga sering dianggap apatis. Padahal Gie menunjukkan bahwa membawa bendera Mapala yang merangkul semua orang bukan berarti tidak punya perhatian terhadap masalah bangsa. Malah sebaliknya, ia membesarkan Mapala UI tapi juga tidak melepaskan dari persoalan-persoalan bangsa.

Gie si manusia yang kesepian bukan tidak punya teman. Temannya banyak dan setia padanya. Ia kelihatan kesepian karena ia begitu kelihatan berbeda dari orang-orang di sekitarnya, karena kekeraskepalaannya untuk selalu bersikap oposisif dan mengoreksi pemerintah atau lingkungan tempat dia berada, termasuk di lingkungan FSUI tempat dia akhirnya mengajar. Dalam film kesepian Gie tergambarkan dengan berjalan sendirian di lorong-lorong kampus. Kata-kata Gie yang paling terkenal mungkin adalah kutipan ini: "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda." Dan akhirnya dia pun mengalami itu, mati muda. Tapi setelah banyak berkarya, menulis dan menulis. Perjuangan dan pemikiran Gie diingat dan dikenal karena dilahirkan dalam bentuk tulisan. Mungkin banyak mahasiswa lain sejamannya yang idealis dan juga berjuang, tapi tidak lagi diingat karena tidak melahirkan tulisan. Satu contoh lain intelektual muda yang diingat karena banyak menulis adalah Ahmad Wahib, yang bukunya Pergolakan Pemikiran Islam juga jadi bacaan ‘wajib’ aktivis mahasiswa.
Menonton film Gie sempat membawa kenangan ketakutan, karena ada saat-saat yang mengingatkan pada film Pemberontakan G30S PKI yang dulu saat SD setiap tahun harus kutonton bersama teman-teman sekelas, dan selalu menimbulkan mimpi buruk di malam harinya. Suasana gelap penuh asap rokok dan lirikan-lirikan tajam penuh curiga mewakili suasana ketidakpastian di sekitar tahun 1965, saat mana lawan mana kawan tidak jelas kelihatan. Dalam catatan harian Gie yang dibukukan, tidak ada catatan peristiwa-peristiwa sekitar tahun 1965. Tokoh Han sahabat karibnya ketika kecil dalam film yang kemudian menjadi anggota PKI dan hilang tak tentu rimbanya juga tidak ada
Film Gie jadi terasa melengkapi bukunya. Film ini menunjukkan kehidupan Gie sebagai manusia, bukan cuma Gie sang idola. Tentu saja si Gie manusia yang ditunjukkan dalam film ini adalah Gie menurut interpretasi sutradara Riri Riza. Kisah cintanya yang tertuang di catatan hariannya agak berbeda dengan yang ditunjukkan dalam film. Dalam film juga kelihatannya hubungannya dengan Djien (Arief) kaku sekali, padahal dari buku aku menganggap mereka cukup dekat. Mungkin perbedaan-perbedaan ini adalah bagian interpretasi Riri Riza atau bisa juga merupakan masukan dari keluarga dan teman-teman Gie yang memberi masukan untuk film ini.
Karena dibuat dari catatan harian, aliran cerita yang ditampilkan kadang agak terputus-putus. Juga kadang dialog Gie jadi terasa seperti monolog. Tapi film ini menampilkan gambar-gambar indah dengan komposisi yang bagus dan permainan cahaya yang menarik, patut diatungi jempol. Potret Gie yang membaca buku di ruang kumuh rumahnya dengan cahaya samar dari jendela kelihatan begitu puitis. Rekonstruksi kehidupan Indonesia tahun 1960an juga bagus, lengkap dengan mobil-mobil tuanya. Walaupun latar belakang kisah adalah di Jakarta, shooting dilakukan di Jakarta dan Semarang dan ini bisa dilihat dengan jelas oleh kami dari Sahabat Museum yang bisa mengenali dengan jelas daerah-daerah Kota Lama Semarang.
Keberanian sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana untuk mengangkat film ini patut dikagumi. Di sini mereka menampilkan bendera PKI yang bagi sebagian masyarakat dan pemerintah kita masih jadi momok. Juga adegan pembantaian orang-orang yang dianggap pengikut PKI, mungkin baru pertama kali terlihat dalam sebuah film Indonesia. Selain itu film ini yang diakui sendiri oleh Mira sebagai bukan film komersial ini dibuat dengan biaya mahal.
Ada kompromi-kompromi yang harus dibuat tentunya. Budaya pop jadi mau tak mau terasa karena wajah pemeran Nicholas Saputra yang identik dengan potret anak muda masa kini, yang jelas bukan potret Gie. Tapi bisa dimaklumi – wajahnya menjadi daya tarik untuk film ini, dan menjadi penyeimbang tempo film yang lambat dan durasinya yang panjang. Tapi bahkan wajah Nicholas pun tidak bisa menahan sebagian penonton keluar dari gedung bioskop sebelum selesai. Memang banyak penonton kita yang sudah terlalu terbiasa dengan tempo cepat film-film Hollywood sehingga kurang bisa menonton film-film alternatif seperti ini.

Mungkin ada banyak aktivis dan intelektual yang merasa kesal karena pem-budayapop-an kisah Soe Hok Gie, seperti mengapa buku Catatan Seorang Demonstran harus dicetak ulang dengan gambar sampul seorang Nicholas Saputra, yang jelas-jelas bukan Gie. Tapi semoga dengan itu jadi lebih banyak lagi orang yang mau membaca buku Gie. Karena akan baik kalau profil Gie semakin dikenal. Semangat dan idealismenya bisa jadi teladan yang baik buat kita.

Sumber : my-musings.blogdrive.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar